Karya: Ns. Abdul Haris Awie, S.Kep
Berjalan pada pesisir pantai nan sejuk,
Meski tak sesejuk nirwana harapan,
Mengintai lumba-lumba bermain,
Walau tak secantik buruknya hidup rakyat pesisir dikegelapan.
Kami bersandar pada gelora tanjung hayalan,
Mencari bentuk tersempurna potret kehidupan,
Mendengar desahan alam “Merekam sejuta makna air mata”
Mengukir sehelai realitas diatas tinta-tinta penderitaan.
Namun kami berhenti dan terpana
Dibentangan jalan kota yang panjang.
Siapa disana yang menengadahkan tangan,
Mereka siapa yang menangis,
Bangsa siapa yang meratapi bangsanya,
Mari bertanya pada isak tangis mengharu.
Malam mulai merambat, sasaran kami Jalan Nusantara,
Disana ada suara lembut “Mau pesan kamar mas !”
v “Saya bukan mas tapi daeng”
Ditemani sentuhan menggoda “Bayarannya murah kok mas”
v “skali lagi saya bukan mas tapi daeng darah Bugis Makassar”
Potret body langsing “Jiwa kurus dan biadab” ada disana
Pertengahan malam kami beranjak, meninggalkan tawa miring
Pandangan kabur, lemah, lesu dan menyesal
Tertulis berita “Kami telah menjadi korban”
Sebuah kebiadaban zaman yang menyeret pembenaran nurani.
Siapa yang menggusur, Siapa!
Siapa yang memperkosa, Siapa!.
Siapa yang melaknat, Siapa!
Dan siapa yang mampu mendengar jeritan siapa.
Kalau kami menyuarakan “Rakyat tergilas”
Kalau kami membahasakan “Orang-orang pinggiran”
Jika kami terharu “Tentang penderitaan mereka” kenapa tuan gentar.
Bukankah gaji tuan adalah pajak dari keringat mereka.
Apa arti keadilan menurutmu tuan?
Apakah disebut keadilan dengan menggusur mereka yang bertahan hidup Lalu tuan menyulap tanah mereka! dengan menanam gedung-gedung pencakar langit!.
Apa arti pemberdayaan wanita menurut tuan-tuan,
Apakah disebut pemberdayaan dengan menjual mereka seharga Rp 65 ribu/jam!
Ha.. tuan bergurau!
Tuan menutup mata
Pada masyarakat marginal yang tuan-tuan korbankan.
Tuan-tuan menutup telinga,
Pada perempuan yang menjerit karena selangkangannya digerayangi...
Tuan terlena dalam sebotol Bir
v Tapi tuan kalau botolan sudah habis, masih ada Ballo Ase
Tuan tertawa “Ini adalah hasil perjuangan”
Yah…. Perjuangan untuk membodohi rakyat,
Pengorbanan demi sebuah jabatan.
Tuan-tuan memberi kami kebebasan berdemokrasi,
Tapi tuan hilaf menyandera kami,
Tuan-tuan memberi kami kesempatan menyuarakan hati,
Tapi tuan terkadang larut dan berlalu
Tuan….. jangan pasung semangat kami,
Usah membeli kebebasan kami,
Beri kami amplop kosong tuan,
Akan kami isi dengan ide untuk negaraku, bangsa tuan
dan bahasa mereka
Berbicara konsep, Tuanlah rajanya!
Membahas arah pembangunan, Tuan tiada duanya!
Berusaha untuk makan, Tuanlah jempolnya,
Tapi sayang, Tuan nomor satu karena rakus.
Makassar, 2004
Puisi ini di bacakan pada Lounching Buku Ingin kukencingi Mulut Monalisa yang tersenyum Karya Andhika Mappasomba dan Anis di Unismuh
Serta Penyambutan Adi Sasono Ditakalar Tahun 2004