Kamus Awie

Rabu, 28 Mei 2008

HAMPIR SETENGAH ABAD

HAMPIR SETENGAH ABAD
(Ns Awie dan Barisan PPNI Kota Makassar)
Kukirim buat perawat senior yang mangabdi di desa terpencil

Kumulai menghitung sayap kata.....
Gemulai dilembar-lembar sajak,
Seragam putih-putih menembus sunyi,
Dihening malam, melintas disungai pengabadian,
Merintih para korban dimalam tak menunggu fajar.

Nurani terketuk pada sunyi yang temaram,
Nurani berkutik pada silau kebijakan tak bijak,
Hampir setengah abad dia berjalan,
Meniti cadas-cadas dilorong-lorong desa,
Keringat diurai diujung jalan menanjak,
Duduk dia bersimpuh, memandang jauh jalan setapak diketerusikan burung camar,
Jeritan korban menunggu di dusun sunyi pada rembulan sayup mengiris mendung.

Hampir setengah abad dia berjalan kaki,
Menapaki arus sungai bergemersik dibebatuan,
Lembah dan rimbunnya pepohonan,
Terik matahari yang menjerit,
Diguyuran hujan sore,
Halilintar menggertak pada dahan-dahan yang berguguran,
Jeritan korban menunggu didusun sunyi pada sore gemulai menuju malam.

Hampir setengah abad gajinya dikebiri,
Mengabdi pada kebijakan tak bijak,
Pada derasnya perburuan pangkat dan tahta,
Pertarungan para singa kelaparan,
Memangsa dan mencabik hak asasi anak bangsa.

Hampir setengah abad dia terusik,
Dilelapnya tidur malam,
Jerit keluarga korban mengetuk pintu nurani,
Bergegas bangun pada mata pengabdian,
Tak ada pilihan, maka perjalanan dimulai,
Menapaki semak belukar,
Dijalan tak bersahabat,
Hujan mengguyur diawal malam.

Kukerling mata diujung ranting dan dahan,
Kemarau telah merenggut dedaunan,
Kumerenung menakar kata,
Akarpun telah terkoyak oleh badai kebijakan tak bijak.

Kita yang berburu diperburuan airmata,
Kitapun bertaruh dipertaruhan nurani,
Seragam apa yang tuan pakai?
Apa arti nurani menurutmu tuan?

Sebait syair pernah kulukis,
Kita adalah anak-anak bangsa yang meringis,
Kita adalah sajak-sajak kemanusiaan yang tak tersentuh.
Kita adalah baris-baris seragam abu-abu.
Kita adalah seragam abadi dipengabdian,
Kita adalah mata bathin dikegundahan,
Kita adalah sejarah yang tak kesampaian,
Kita adalah penghuni dikerajaan tak bertuan,
Kita adalah potret penindasan,
Kita adalah potret tulang tak berbentuk,
Kita adalah Penggalan-penggalan kata tak berwujud sampai

Lalu kita ini siapa?
Lalu kita hendak kemana?
Berapa lama juga untuk siapa?
Tanyakan pada perawat yang bersimpuh diujung sunyi dusun.
Hampir setengah abad,
Serunai seruling didusun mengukir kegelisahannya,
Hampir setengah abad,
Suara binatang malam mengalun ditelinganya,
Hampir setengah abad,
Dia menatap gadis-gadis desa melintas disore terangkai,
Hampir setengah abad,
Dia menjerit namun tak ada yang mendengarnya.

Jalan Menuju Malino, Akhir Januari 2008

Puisi ini dilombakan pada acara Pentas Seni Keperawatan yang diselenggarakan oleh PPNI Kota Makassar bekerjasama dengan Mahasiswa Keperawatan se Indonesia Timur, Gedung Balai Jend. Muh Yusuf tanggal 16 - 17 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar